18 Juni 2007
16 Juni 2007
Menjadi Tukang Sampah Juga Hebat...
Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2007 lalu, Surabaya layak berbangga hati. Selain menerima Piala Adipura sebagai penghargaan tertinggi di bidang kebersihan, salah satu warganya juga mendapat penghargaan Kalpataru sebagai pengabdi lingkungan. Penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup ini diterima oleh H. Sudarno, ST langsung dari tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Apa saja sih yang dilakukan sarjana teknik sipil-konstruksi yang bekerja pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya ini, sehingga berhak menerima penghargaan bergengsi itu?
Awalnya ia merasa prihatin melihat alat pengolah sampah (incinerator) milik Pemkot berada dalam kondisi rusak. Hal ini menyebabkan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Keputih makin lama makin menggunung. Maka ia pun melakukan ujicoba membuat incinerator mini dari tong bekas, yang bisa digunakan di tingkat RT/RW masing-masing kampung. Tetapi karena diprotes tetangganya yang tidak tahan dengan bau sampah, kegiatan ini terpaksa dihentikan.
Sudarno kemudian membuat tong pengolah sampah organik, sehingga sampah yang berasal dari bahan organik seperti sayur-sayuran dan buah-buahan dapat disulap menjadi kompos dan pupuk organik. Tong sampah semacam ini sekarang sudah ada di tiap RT dan RW seluruh Surabaya.
Lalu sampah anorganik bagaimana? Tidak perlu dibuang sehingga tidak mencemari lingkungan. Sampah plastik, stirofoam, sekam, kertas, alumunium foil, abu sampah, pecahan kaca, dan sebagainya dicetaknya menjadi batu bata yang dinamakan “batem” (batu bata isinya macem-macem).
Kemudian Sudarno menciptakan “lumpur ajaib” (bukan lumpur Lapindo, lho) dengan bahan dasar semen. Lumpur ini mampu menetralisir berbagai limbah bahan beracun berbahaya (B3) seperti Hg, Pb, Zn, N02, NH3, dll., juga deterjen, minyak, dan dapat menyerap bau. Benar-benar ajaib kan?
Belum puas dengan hasil karyanya, Sudarno terus berinovasi. Kali ini ia berhasil membuat cairan penghilang bau yang ditimbulkan proses pembusukan sampah, bangkai, maupun kotoran binatang. Cairan dari tebu bakar ini jika disemprotkan ke bangkai binatang misalnya, maka bangkai tersebut akan tetap membusuk tanpa menimbulkan bau. Wow...!
Saat ini Sudarno sedang menyempurnakan alat terbarunya yang dapat memperkecil volume sampah anorganik hingga tinggal 1/100-nya.
Semua yang dilakukan Sudarno itu semakin kelihatan bermakna kalau kita tahu berapa banyak sampah yang dihasilkan warga Surabaya. Sebagai gambaran, pada tahun 2002 jumlah sampah yang dihasilkan warga kota rata-rata 8.000 m3/hari, atau sekitar 2.912.000 m3 (hampir tiga juta meter kubik!) setiap tahunnya. Sampah organik (44,81 %), kertas (17,64 %), plastik (16,46 %), logam (1,99 %), gelas (9,07 %), kain (3,29 %), lain-lain (7,74 %).
Tahun 2004 volumenya 264.000 m3/bulan atau 3.168.000 m3/tahun, tahun 2005 volumenya 3.132.000 m3, tahun 2006 berhasil diturunkan drastis menjadi 161.000 m3/bulan atau 1.932.000 m3/tahun.
Kesimpulannya.... ternyata untuk menjadi “orang hebat” kita tidak harus menjadi dokter, konglomerat, menteri ataupun presiden. Profesi “tukang sampah” pun bisa hebat, asal dilakukan dengan ketekunan dan kesungguhan untuk melakukan yang terbaik.
Think globally.
Act locally.
Take small steps.
Start now.
Yap.
referensi:
PIKNet edisi 7 Juni 2007 oleh ETA
PIKNet edisi 2 Juni 2007 oleh Agnes Swetta Pandia
PIKNet edisi 20 Mei 2003 oleh Abdul Rohim Tualeka
foto: Endang Irowati
Oleh: p4ndu_454kura 7 komentar
Tentang: Kebersihan, Prestasi
Piala Adipura, Lambang Kebersihan?
Tepat pada Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan penghargaan Adipura kepada Kota Surabaya, selain DKI Jakarta dan Palembang. Piala itu pun diarak keliling kota.
Demikian PIKNet menginformasikan pada edisi 11 Juni 2007. Penghargaan itu bukanlah yang pertama. Tahun lalu Kota Pahlawan juga menerima penghargaan yang sama. Bahkan pada tahun 1990-an Surabaya pernah menerima piala Adipura Kencana karena berhasil mendapatkan piala Adipura selama lima tahun berturut-turut, sebelum pada akhirnya kegiatan itu dibekukan karena krisis yang melanda Indonesia. Akan tetapi, benarkah dengan menerima Adipura untuk kategori Kota Raya ini berarti Surabaya telah bebas dari sampah?
Harus kita akui, Surabaya memang tampak lebih bersinar dalam dua tahun terakhir. Hal itu bisa dilihat dari kondisi jalanan dan sungai yang semakin bersih. Selain itu, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya juga menata ulang taman-taman yang tersebar di sepanjang jalan dan berbagai penjuru kota sehingga lebih menyejukkan pandangan.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, Ir. Tri Rismaharini, juga sering turun sendiri ke lapangan. Bila melihat sampah berserakan di jalan beliau tidak segan-segan membersihkannya sendiri. Bukan hal yang aneh, karena mobilnya selalu terisi perlengkapan kerja sebangsa sapu, sekop, tas sampah, dan sebagainya. Begitu juga kalau melihat taman yang tak terawat, beliau segera mengontak petugas untuk memperbaiki dan merawatnya. Selain itu, alumni SMA Negeri V Surabaya tersebut mengajak warga untuk selalu menjaga kebersihan lingkungannya, termasuk kebersihan sungai.
Kerja keras beliau yang tak kenal lelah sejak ditunjuk sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya pada tahun 2005, tampak nyata hasilnya. Surabaya semakin bersih, dan seluruh penjuru kota dipenuhi taman-taman yang indah. Volume sampah yang tahun 2004 mencapai 264.000 meter kubik, tahun 2005 turun menjadi 261.000 meter kubik, dan tahun 2006 susut menjadi sekitar 161.000 meter kubik.
Tengoklah Kalimas. Sungai yang membelah Kota Surabaya itu menjadi lebih jernih dengan tidak adanya lagi sampah yang dulunya “bergentayangan” di permukaannya. Bahkan kini sungai tersebut dapat dimanfaatkan sebagai arena olahraga dayung. Sementara beberapa tempat umum seperti stasiun, terminal, dan juga pasar, terasa semakin bersih dengan hilangnya pemandangan dan bau tak sedap yang sebelumnya menjadi ciri khas tempat tersebut.
Akan tetapi dibalik semua itu, salah besar kalau kita mengukur kebersihan Surabaya dari keberhasilannya meraih Adipura. Karena, penilaian untuk Adipura itu hanya mencakup beberapa wilayah saja, belum termasuk wilayah pinggiran kota. Selain itu, Adipura hanya menilai penampilan fisik sebuah kota. Belum termasuk bagaimana kualitas air, udara, maupun lingkungan lainnya.
Dosen teknik lingkungan ITS, Eddy Soedjono, berpendapat, meski Kota Surabaya mengalami penurunan produksi sampah, bukan berarti pencemaran udara dan air juga ikut berkurang. Pak Eddy usul agar Pemkot bekerjasama dengan beberapa ahli demi mengurangi pencemaran air di kota terbesar kedua di Indonesia ini, tidak berhenti pada upaya pengerukan sampah saja.
Di sisi lain, Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Pemkot Surabaya, Togar Arifin Siloban juga menjelaskan, pencemaran air dan udara belum tertangani secara menyeluruh, karena belum masuk dalam prioritas. Sebelumnya beberapa tahun lalu, pernah ada pakar yang menawarkan sistem penyulingan limbah sungai, tetapi hal itu terhenti karena kurangnya dana.
Adipura telah kita raih. Apakah kita berpuas diri begitu saja dengan gelar yang hanya sementara itu? Yang lebih kita harapkan adalah bahwa kebersihan Surabaya itu bukan hanya terletak pada petugas kebersihan yang membersihkan kota tanpa kenal lelah, tetapi juga pada kesadaran kita bersama sebagai warga kota untuk menjaganya. Yuk, bersih-bersih yuk....
referensi:
1. PIKNet edisi 11 Juni 2007, oleh AB8.
2. PIKNet edisi 2 Juni 2007, oleh Agnes Swetta Pandia Selengkapnya....
Oleh: p4ndu_454kura 4 komentar
Tentang: Kebersihan, Prestasi
15 Juni 2007
Pengorbanan Yang Sia-Sia
Komisi C DPRD Surabaya meminta agar bangunan tua bekas RS Mardi Santoso di Jalan Bubutan segera direnovasi pengembang Buthan Trade Mall, PT Bubutan Megah Indah. Demikian disampaikan Sekretaris Komisi C DPRD Surabaya Agus Sudarsono seusai inspeksi mendadak di lokasi pembangunan Buthan Trade Mall, Rabu (12/7). Buthan Trade Mall akan dibangun di lokasi bekas RS Mardi Santoso. (PIKNet, edisi 14 Juli 2006 oleh APA)
Ini kisah tentang tempat kelahiran saya, dan tempat saya berobat sampai beberapa tahun sesudahnya. Mardi Santosa, sebuah rumah sakit tua peninggalan jaman Belanda yang sekaligus merupakan bangunan cagar budaya kota. Saya masih ingat, arsitektur rumah sakit itu sangat menawan dalam warna-warna pastel yang lembut. Para dokter dan perawat bekerja dengan baik dan murah senyum. Menurut penuturan orang tua-tua, rumah sakit itu merupakan rumah sakit swasta yang menerapkan tarif murah, bahkan tidak jarang membebaskan biaya perawatan pasiennya.
Akan tetapi, semua itu kini hanya tinggal kenangan. Tidak ada lagi yang dapat mengunjunginya untuk berobat. Tidak ada lagi orang yang datang untuk menjenguk kerabatnya yang sakit.
Ya, bangunan bersejarah itu kini telah rata dengan tanah, hanya menyisakan potongan bangunan bagian depan. Rencananya hendak diganti dengan sebuah mal. Tetapi sampai sekarang, lebih dari lima tahun kemudian, belum ada satu bangunan pun yang berdiri di situ. Hanya rumput dan tanaman liar yang memenuhi lahan kosong di pusat kota itu.
Itulah salah satu ironi perkembangan kota Surabaya. Demi citra metropolis, di mana-mana dibangun pusat perdagangan. Di mana-mana dibangun mal. Sampai mengorbankan gedung yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan SK Wali Kota nomor 188.45/ 251/402.1.04/1996, masih berfungsi sebagai rumah sakit pula. Apalagi ternyata mal itu sampai sekarang belum dibangun. Betapa sia-sianya pengorbanan besar itu.
RS Mardi Santosa tidak sendirian. Masih banyak gedung-gedung bersejarah dan cagar budaya lain yang jadi korban pembangunan mal atau pusat perdagangan. RS CBZ (Simpang), yang merupakan rumah sakit pertama di pulau Jawa, sudah lama berubah menjadi Plaza Surabaya. Hotel Sarkies berubah menjadi Plaza Tunjungan IV. Pasar Wonokromo menjadi Darmo Trade Centre. Bahkan penjara Kalisosok pun sebentar lagi akan berubah menjadi mal.
Di mana-mana di seluruh Surabaya kita menemukan berbagai mal atau trade center. Jumlahnya puluhan. Ruko tidak bisa dihitung lagi jumlahnya. Kebun binatang Surabaya yang berfungsi sebagai paru-paru kota sudah lama diincar untuk disulap menjadi mal. Bahkan SMP 3, bekas sekolah saya yang termasuk cagar budaya karena dulunya merupakan markas Tentara Pelajar, juga pernah diincar investor.
Saya tidak mengerti, akan jadi apakah Surabaya ini? Hutan mal? Untuk siapakah mal-mal itu? Saya pikir masyarakat lebih butuh rumah sakit, pasar, sekolah, dan fasilitas umum lain yang lebih merakyat. Selengkapnya....
Oleh: p4ndu_454kura 5 komentar
Tentang: Pemikiran
Berobat di Puskesmas Balongsari
Berawal kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saat saya klas 1 atau klas 2 SD. Sudah beberapa hari saya demam. Pagi itu, sekitar jam setengah sembilan, selesai memasak dan membersihkan rumah ibu mengajak saya ke Puskesmas Balongsari, Surabaya, yang jaraknya hanya 150 meter dari rumah.
Puskesmas sepi. Cuma ada dua orang di ruang tunggu. Ibu segera ke loket pendaftaran. Tetapi petugas loket menolak. “Sudah tutup, Bu.”
“Hla... Mbak... masak jam segini sudah tutup? Ini kan baru jam setengah sembilan?”
“Iya, tapi pendaftaran sudah ditutup jam delapan tadi.”
“Memangnya pendaftaran buka jam berapa?”
“Jam setengah tujuh....”
“Tapi dokternya masih ada kan Mbak? Tolong po’o Mbak, anakku sudah beberapa hari panas.”
“Dokternya masih ada, tapi sudah nggak melayani Bu, sudah tutup soalnya,” kata petugas itu tanpa perasaan.
Dengan hati geram dan putus asa ibu mengajak saya pulang. Sejak saat itu kami sekeluarga tidak pernah menginjakkan kaki di puskesmas itu lagi.
Minggu lalu, giliran adik saya demam. Sudah tiga hari. Kebetulan ibu perlu bertemu dengan dokter kepala puskesmas. Maka ibu pun sekalian memeriksakan adik di puskesmas.
Puskesmas Balongsari sekarang beda dengan puskesmas waktu saya ke sana dulu (waktu itu hanya puskesmas pembantu). Di sebelah dan di belakangnya sudah ditambah bangunan-bangunan baru, yang diresmikan Walikota Surabaya Bambang D.H. tanggal 15 Agustus 2006. Sekarang semua ruangannya ber-AC, full music lagi. Dokternya tujuh orang, termasuk dokter gigi, dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dan dokter anak. Ditambah psikolog, akupunkturis.
Sudah ada kamar obat dan laboratorium, fasilitas rawat inap melahirkan, klinik lansia, bahkan punya unit perawatan paliatif yang bulan depan diresmikan jadi klinik khusus. Memang, sekarang Puskesmas Balongsari sudah jadi salah satu puskesmas percontohan di Surabaya. Sekarang pendaftaran pasien diterima sampai jam 12 siang, bahkan sore hari jam setengah lima sampai jam delapan malam juga melayani pemeriksaan. Puskesmas itu juga sering mengadakan kegiatan sosial di masyarakat seperti pengobatan gratis dan berbagai lomba berhadiah alat-alat kesehatan.
Jadi mahalkah biaya pengobatannya? Ternyata tidak. Tetap hanya Rp 2.500 untuk biaya pelayanan, ditambah biaya obat Rp 2.500. Sayangnya, kualitas layanan dokternya ikut “tidak naik”. Setelah ditanya berapa lama demam dan apa gejala lain, adik saya hanya dilihat tenggorokannya, disuruh timbang badan, diberi resep, dengan pesan kalau panasnya tidak turun tiga hari lagi supaya kembali ke sana untuk periksa darah. Sudah. Tidak ada komunikasi lain, atau pemeriksaan lain (padahal sudah tidak ada pasien lain). Adik saya yang baru klas 3 SD itu komentar, “Lho, kok gak dipriksa?”
Mungkin waktu itu dokternya sudah capek. Atau lapar. Maklum sudah jam setengah duabelas siang.
referensi:
1. PIKNet, edisi 16 Agustus 2006 oleh APA
2. PIKNet, edisi 01 Mei 2006 oleh APA
Oleh: p4ndu_454kura 11 komentar
Tentang: Pelayanan Publik
14 Juni 2007
Tentang Rujak Cingur
Rujak cingur. Makanan khas Surabaya ini sungguh menantang. Terbuat dari aneka buah-buahan (kedondong, mangga muda, belimbing, nanas, bengkuang, mentimun, krai segar –sejenis mentimun), sayur-sayuran (krai rebus, kangkung, kacang panjang, kecambah), tempe goreng, tahu goreng, lontong, tidak ketinggalan cingur dan kerupuk. Sungguh makanan yang bergizi dan memenuhi syarat kesehatan.
Tetapi letak tantangannya bukan di situ. Bagi yang belum pernah merasakannya, tantangan pertama ada pada tampilannya yang campur aduk, berwarna hitam, jorok, sekilas bumbunya yang tercampur rata tampak lebih kotor dari lumpur. Warna hitam ini berasal dari petis udang yang diuleg bersama cabai, kacang tanah, bawang putih goreng, pisang batu muda, terasi, garam, dan gula.
Tantangan kedua pada rasanya yang juga campur aduk. Dijamin mata merem-melek saking asamnya buah kedondong dan mangga muda, sementara mulut mendesis-desis kepedasan, sesekali ditingkah kriuk-kriuk suara gigitan kerupuk. Ada rasa manisnya juga, dari buah belimbing dan nanas. Asin, kalau kebanyakan garam. Bahkan kadang sedikit pahit, kalau... kacang gorengnya gosong!
Tantangan ketiga terletak pada cingur. Seperti daging yang kenyal-kenyal empuk. Enak sih. Tapi asal tahu saja, yang dinamakan cingur ini sebenarnya moncong sapi!
He...?
Mengerikan? Ya! Terutama saat kita melihatnya dipajang utuh di warung sambil menunggu rujak pesanan kita disiapkan. Ngeri rasanya membayangkan kita akan “beradu mulut” bahkan "melumat" mulut sang sapi, hiiii....!!! :D
Sekalipun sekilas begitu “mengerikan”, yang sudah merasakan kelezatan rujak cingur umumnya merasa ketagihan. Untungnya makanan ini mudah ditemui di berbagai penjuru kota. Harganya bervariasi, dari Rp 2.000/porsi di kampung-kampung sampai Rp 35.000/porsi di Jl. Ahmad Jais (ini harga tahun lalu, entah sekarang, mungkin sudah naik lagi).
Hmm.... menulis tentang makanan tiba-tiba saya jadi lapar!
Yak, sebenarnya yang ingin saya sampaikan bukan itu. Saya hanya ingin memberi sedikit pengantar pada blog ini, bahwa akan seperti rujak cingur itulah nantinya sajian blog ini. Campur aduk tentang segala hal, dengan berbagai macam rasa, yang seluruhnya bicara tentang Surabaya.
Karena Surabaya adalah kota kelahiran saya. Dan karena saya sedang mengikuti lomba blog bertemakan Surabaya :-)
referensi: PIKNet, edisi 3 Desember 2006 oleh ETA/ARN
Oleh: p4ndu_454kura 8 komentar
Tentang: Makanan